CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Jumat, 17 April 2009

I want to........................

Aduwhhhhhhh.... so suit bgt indahny........ Gambar ntu adl foto sunrise yg di ambil di sekitar Gunung Lawu.

Gunung Lawu, 1971

Pada tahun 1971, di gunung Lawu ada UFO berbentuk cakram terlihat di siang hari, mendarat dan terbang kembali, sekitar 1 mil dari danau buatan. Hanya ada seorang saksi mata namun tim dari J. Salatun saat meneliti, yakin bahwa saksi mata ini berkata yang sebenarnya karena kesederhanaan dan sikapnya yang lugu. Dia menceritakan bahwa saat itu perhatiannya terusik dengan melihat ke langit karena udara di sekitarnya tiba-tiba berwarana keperakan, bersamaan dengan munculnya cahaya yang sangat terang.

Dia berpaling ke arah sumber cahaya itu dan melihat sebuah UFO muncul di atas ketinggian pohon-pohon di sekitarnya. Warnanya keperakan dan berbentuk seperti piring dengan bulatan kubah di atasnya dengan bahan material tembus cahaya. Diameternya sekitar 10 hingga 15 meter, dibandingkan dengan bekas pendaratannya yang berdiamater sekitar 25 meter.

Waktu itu jam 11 pagi, cuaca cerah dan hanya beberapa awan yang nampak, saksi mata melihat di bagian bawah UFO itu ada sinar yang kuat menyorot ke bawah, yang berubah warna tiap detiknya. Warnanya seperti warna pelangi. Pada waktu yang bersamaan, cahaya yang berputar juga terlihat di bagian kubah, meskipun saksi mata tidak yakin apakah kubah tersebut berputar atau tetap diam. Ketika ditanya apakah dia bisa melihat sosok makhluk di dalamnya, dia tidak yakin. Waktu itu suara UFO itu terdengar seperti suara lebah. Lalu UFO tersebut terbang dengan sudut kemiringan yang rendah menjauh dari saksi mata. Bersamaan dengan itu, keadaan di sekelilingnya menjadi normal kembali. Tidak seperti helikopter, UFO tersebut tidak menimbulkan debu angin. Setelah pada ketinggian tertentu, cahaya UFO tersebut berubah warna menjadi gelap dan mengecil dan akhirnya tak terlihat lagi. Kejadiannya berlangsung hanya sekitar beberapa menit.

Saksi mata menyatakan tidak takut dengan peristiwa itu namun membuatnya penasaran. Dia ingin mendekati pesawat itu yang menurutnya jaraknya sekitar 400 meter dari tempatnya berdiri. Namun semak-semak yang lebat menghalangi dia untuk mendekatinya. Dia tidak mengalami luka atau efek apapun.

Hal yang menarik ketika penduduk desa di sekitar itu juga ditanyai, mereka mengatakan bahwa di sana sering terlihat cahaya di malam hari yang berwarna hijau dan merah. Namun setelah penampak UFO di siang hari itu, sinar-sinar aneh di malam hari tidak lagi muncul. Penduduk setempat menyebut sinar malah hari itu sebagai "ndaru."

Tim J. Salatun kemudian mengambil sampel tanah dan menemukan pasir silika dan alat pengukur radioaktif Geiger-Muller digunakan namun tidak mendeteksi apa-apa. Temuan yang cukup menarik ditemukannya banyak tanaman gersang yang berbentuk lingkaran di sana di tengah tanaman yang lebat dan subur, sehingga diduga di sana merupakan tempat favorit UFO untuk mendarat.



Ouwwwwwhh,, Gunung Lawu yg begitu penuh pesona. Quw pengen bgt bisa mendaki Gunung Lawu mpe puncak. Quw tuh hoby bgt ikut kegiatan yg berbau petualangan. Walau selama ni quw baru berjelajah malam naik mpe Goa Cerme n Su2r Pante ama tmen2 UNIDA. Entah napa bila quw denger kata Gunung Lawu, quw semakin pengen deket dg kamu..............


Ekspedisi Lawu

August 21st, 2006 - Adventure - Give Comments

Sang Saka Merah Putih

Banyak hal dilakukan untuk mengisi peringatan kemerdekaan Indonesia. Mulai dari lomba-lomba, menghias kampung dan rumah dengan berbagai macam hiasan warna-warni, memasang bendera sebulan penuh, hingga puncaknya adalah upacara peringatan detik-detik proklamasi.

Walau semua itu sepertinya aktivitas rutin yang “biasa” saja, tetapi ada suatu makna di balik semua aktivitas itu. Lomba-lomba misalnya. Melalui aktivitas ini kita bisa berbaur dengan masyarakat, tetangga, teman, yang selama ini mungkin kita jarang bertemu dan bertegur sapa akibat padatnya aktivitas kita. Dari sini pula kita bisa melatih kekompakan, kerjasama, sportivitas, dan kreativitas.

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 16-17 Agustus kemarin, saya bersama rekan-rekan mencoba merasakan arti sebuah perjuangan demi mencapai sebuah tujuan. Sebuah perjuangan demi mengikuti upacara peringatan detik-detik proklamasi, yang biasa kita ikuti melalui layar televisi, kantor, instansi pemerintah, atau sekolah masing-masing.

Hati ini tergetar ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya seraya tangan kanan menghormat kepada sang saka merah putih yang berkibar di atas awan. Di atas awan? Ya, di atas awan! Berketinggian 3.265 m di puncak Lawu.

Gunung Lawu terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mempunyai bentang alam yang membentuk morfologi perbukitan yang memanjang dan bentuk kerucut gunung api. Gunung api strato tipe B ini sudah lama tidak aktif. Kawahnya bernama kawah Candradimuka, tempat di mana Gatotkaca ditempa pada cerita pewayangan. Puncaknya yang paling terkenal adalah Puncak Hargo Dumilah. Di sinilah upacara peringatan detik-detik proklamasi biasa diadakan.

Tempat ini juga sangat ramai pada Tahun Baru Muharram 1 Syawal (1 Suro) karena bagi mereka yang meyakini lelaku Kejawen, pada malam ini banyak yang mencari wangsit. Uniknya lagi, pada malam 1 Suro ini di puncak kita bisa menemui banyak penjual makanan semacam mi ayam, bakso, dan lain sebagainya. Entah bagaimana mereka membawa dagangan mereka sampai ke situ.

Untuk mencapai puncak, ada 2 jalur pendakian yang sering dipakai. Yang pertama adalah melalui Cemoro Kandang yang terletak di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Sedangkan yang kedua adalah melalui Cemoro Sewu yang terletak di Kabupaten Magetan, Jawa Timur.

Perbedaan jalur pendakian ini adalah pada jarak dan medannya. Cemoro Kandang lebih landai tetapi jarak yang ditempuh lebih jauh. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak rata-rata 7-8 jam. Sedangkan Cemoro Sewu jaraknya lebih pendek, tetapi medannya terjal. Waktu tempuh untuk mencapai puncak rata-rata 5-6 jam.

Saya, Dipto, Adi, Tupic, Didit, Hadi, Arya, Anang, dan Aan, bersembilan mendaki dari Cemoro Sewu. Berangkat dari Jogja sekitar pukul 4 sore. Sebelumnya sih ngumpul dulu di rumahnya Didit guna berkonsolidasi dan menyusun strategi. Halah. Dari Jogja langsung ngeblas ke Solo, untuk sholat Maghrib dulu. Abis sholat di masjid Sholikhin, tim langsung menuju Tawangmangu, Karanganyar.

Berangkat dari rumah Didit

Di sebuah masjid di dekat terminal Tawangmangu, tim berisitirahat dan sholat Isya. Sebelum berangkat, tim pun nyari makan dulu di sebuah warung HIK, yang kalo di Jogja bernama angkringan.

Warung HIK


Tidur di pelataran masjid di Tawangmangu

Setelah tidur-tiduran bentar di pelataran masjid, pukul 21.45 tim langsung menuju Cemoro Sewu. Untuk menuju Cemoro Sewu ini, kita melewati sebuah lembah berbentuk sadel di mana pada lembah ini terdapat jalan raya tertinggi di Pulau Jawa yang berketinggian 1.900 m.

Udara dingin langsung menusuk tulang. Bahkan jari-jari terasa beku dan kaku. Oleh karena itu, disarankan bagi temen-temen yang akan ke sini untuk memakai sarung tangan dan kaus kaki untuk mengurangi hawa dingin yang menusuk ini. Bahkan saking dinginnya, tangan menyentuh knalpot panas saja terasa hangat.


Sampai di Cemoro Sewu, motor pun kami parkirkan. Per motor dikenai tarif 3.000 rupiah sekali parkir. Ternyata banyak sekali para pendaki yang bertujuan sama dengan kami. Setelah mempersiapkan segala perbekalan, kami pun menuju ke gerbang masuk untuk melapor dan membayar retribusi sebesar 2.000 rupiah per orang.

Seluruh tim siap mendaki

Tiket retribusi

Di gerbang Cemoro Sewu

Sebagai tips, benda-benda yang seharusnya dibawa ketika mendaki adalah:

  • Jaket, baju tebal, sarung tangan, kaus kaki, penutup kepala.
  • Sepatu, sandal gunung, kalo yang udah advance bisa pake sandal jepit.
  • Tenda, tikar, sleeping bag, alas untuk tidur.
  • Senter dan alat penerangan lainnya.
  • Ponco alias jas hujan, bisa digunakan sebagai alas tidur atau pun bivak.
  • Air putih sebanyak mungkin. Minimal 2 liter per orang.
  • Makanan, bisa berupa roti maupun mi instan.
  • Kompor dan alat masak. Untuk bikin mi atau kopi ketika nge-camp.
  • Obat-obatan pribadi.

Tentu isi tas harus disesuaikan supaya nanti ketika mendaki kita tidak membawa beban yang terlalu berat yang akan menghambat pendakian kita. Ketika mendaki, disarankan untuk mengambil dan membuang nafas melalui hidung secara teratur, dan jangan melalui mulut karena akan menguras energi.

Selain itu, semakin ke atas, tekanan udara akan semakin rendah, jumlah udara (oksigen) juga semakin tipis. Untuk mengantisipasi sesak nafas akibat kurang oksigen, bisa menempelkan plester panas alias koyo di hidung atau makan permen mint supaya pernafasan sedikit lancar.

Sangat tidak disarankan minum minuman energi karena akan menguras tenaga. Efeknya memang terasa, tetapi sebenernya minuman tersebut membuat tubuh bekerja ekstra keras, sehingga ketika efek minuman energi tersebut habis, tubuh akan merasakan kelelahan luar biasa. Mending minum madu atau makan gula jawa untuk menambah energi ketika pendakian.

Pendakian diawali dengan doa dan tepat pukul 22.45 tim memulai pendakian. Pada rute Cemoro Sewu menuju puncak ini terdapat 5 buah pos peristirahatan, yaitu pada ketinggian 2.100 m, 2.300 m, 2.500 m, 2.800 m, dan 3.100 m dari permukaan air laut.

Perjalanan dari gerbang Cemoro Sewu menuju Pos 1 Wesen-wesen cukup panjang. Di sini kita akan melalui perkebunan sayur dan bunga. Rute masih cukup landai untuk dilalui. Untuk menuju Pos 2 Watu Gedeg, kita akan melalui hutan yang tidak begitu rapat. Batu-batu besar juga mendominasi rute ini.

Menuju Pos 3 Watu Gede, bersiap-siap untuk mendaki rute menanjak dan terjal. Begitu pula ketika menuju Pos 4 Watu Kapur, tanjakan terjal melalui batu-batuan semakin menggila. Rute mulai lumayan ketika menuju Pos 5 Jolo Tundo.

Saya dan beberapa rekan ketika mendaki hanya menggunakan pakaian seragam ELINS, ndak pake jaket. Bukan, bukan bermaksud sombong, tetapi cuma berusaha menyesuaikan diri dengan suhu yang ada. Toh, ketika mendaki tubuh akan berkeringat dan panas sehingga hawa dingin tidak terasa. Tapi bagi yang belum terbiasa jangan coba-coba, ya.

Target tim saat itu adalah sampai di puncak sebelum sunrise. Akan tetapi karena banyak anggota tim yang mulai ngantuk, akhirnya diputuskan untuk segera beristirahat dan nge-camp. Dari sini angin gunung yang dingin dan menusuk membuat tim yang tadinya ndak berjaket segera memakai jaket.

Dipto menghangatkan diri di depan perapian

Tim beristirahat sambil menunggu sunrise

Tepat 5 jam pendakian, tim pun akhirnya berhenti di Pos 5 Jolo Tundo. Jarak ke puncak masih 1 jam lagi. Tim segera menggelar tikar dan sleeping bag. Barang bawaan segera diturunkan. Jam menunjukkan pukul 4.15 pagi. Sebentar lagi sunrise. Tetapi rasa kantuk yang amat sangat, membuat sebagian anggota tim terlelap, termasuk saya. Sial. Saya ndak bisa menikmati saat-saat sunrise tersebut. Tetapi alhamdulillah, Dipto sempat mengabadikan saat-saat sang mentari nongol itu.

Semburat oranye mulai nampak

Matahari malu-malu mulai nampak

Sang mentari mulai muncul

Matahari telah terbit

Tim menyongsong sang fajar

Ketika lapar menyerang, kami pun mulai sarapan. Mi instan rebus dengan kopi rasa ayam bawang. La gimana lagi, karena ndak ada gelas akhirnya gelas bekas mi instan dipake buat minum kopi. La apa ndak kopi rasa ayam bawang itu?

Setelah hari mulai siang, tim pun melanjutkan pendakian menuju ke Puncak Hargo Dumilah dengan melalui Sendang Darajat. Sepanjang jalan, bunga Edelweis (Anaphalis javanica) selalu mengiringi. Si bunga abadi ini merupakan salah satu flora yang dilindungi, sehingga kita dilarang keras memetik bunga tersebut. Apalagi cuma sebagai oleh-oleh yang nantinya hanya berakhir di vas bunga dan mati sia-sia. Cintai dan jagalah alam, maka alam pun akan mencintai dan menjagamu.

Bunga Edelweis

Dari sini pula kita dapat melihat telaga Sarangan di sisi timur. Bahkan kita serasa berada di negeri langit kayak di cerita Kera Sakti itu. Sepanjang pengelihatan hanya awan yang mengelilingi kami. Sebuah pemandangan yang sangat indah.

Telaga Sarangan

Negeri di awan

Sampai di puncak, sudah ada beberapa rekan pendaki. Beberapa buah bendera merah putih telah tertancap di tugu batu yang merupakan tonggak Hargo Dumilah. Sambil menunggu upacara dimulai, kami berjalan berkeliling dan menikmati pemandangan dulu, sambil foto-foto geeh.

Puncak Hargo Dumilah

Berlatar belakang 4 gunung

Dari puncak, jika kita melihat ke barat maka akan terlihat puncak Merapi, Merbabu, Sindoro, dan Sumbing. Dari Hargo Dumilah ini kita bisa melihat kawah Candradimuka yang kini berupa lapangan datar dan luas.

Puncak Merapi, Merbabu, Sindoro, dan Sumbing

Kawah Candradimuka

Menjelang pukul 10.00, para peserta upacara pun siap dengan mengelilingi tugu batu. Upacara peringatan detik-detik proklamasi dilakukan secara sederhana. Ndak ada pasukan pasikbra yang gagah-gagah itu, ndak ada protokoler macem-macem, semua berlangsung sederhana ala alam.

Tepat pukul 10.00, para pendaki yang membawa alat bunyi-bunyian mulai memainkan alatnya. Ada lonceng, klontongan sapi, bel, semua dibunyikan. Setelah itu pembacaan teks proklamasi dan dilanjutkan dengan pengibaran bendera merah putih yang diikatkan pada sebatang kayu. Kemudian bersama-sama kami semua hormat kepada bendera tersebut sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Pengibaran sang merah putih

Hormat kepada sang merah putih

Suasana bener-bener khidmat. Ndak ada yang gojekan, ketawa cekikikan, atau pun mengeluh. Semua larut dalam suasana, karena untuk mengikuti upacara ini kami semua harus berjuang terlebih dulu.

Setelah selesai, acara ditutup dengan doa untuk arwah para pahlawan, para pendaki yang telah mendahului, serta negara supaya menjadi lebih baik. Upacara pun selesai dengan saling salaman dan berpelukan antara pendaki. Bener-bener suasana persaudaraan yang kental. Bhinneka tunggal ika-nya terasa banget.

Setelah upacara selesai, para pendaki melakukan aksi bersih gunung, yaitu memunguti sampah-sampah yang berserakan di puncak, maupun jalur pendakian. Selayaknya semboyan para pendaki.

Tidak mengambil apa pun kecuali gambar
Tidak meninggalkan apa pun kecuali jejak kaki

Tim pun ikut turun bersama para pendaki lainnya. Perjuangan masih panjang. Kami harus melahap kembali jalur pendakian yang terjal itu. La mosok mau nginep lagi di puncak? Gile aje!

Turun dari puncak

Di tengah perjalanan, kami pun berhenti sejenak untuk sekedar menikmati alam yang indah. Bahkan, kami pun menemukan buah Murbei (Morus alba L.) yang enak dimakan. Tanaman Murbei ini daunnya dipakai sebagai makanan ulat sutera (Bombyx mori).

Beristirahat sejenak di tengah perjalanan turun

Menikmati alam Lawu

Buah Murbei

Sebuah pelajaran yang dapat kami petik. Untuk mencapai tujuan, diperlukan suatu perjuangan. Dan setelah mencapai tujuan itu, kita masih harus berjuang kembali untuk menuju ke tujuan berikutnya. Tak perlu mengeluh, karena bila kita menjalani semuanya dengan sabar, hasilnya akan tercapai dengan baik.

Semoga kemerdekaan yang telah kita capai ini bukan sebuah tujuan akhir, tetapi sebuah awal dari perjuangan kita untuk mencapai kemerdekaan yang sebenarnya.

Dirgahayu Indonesiaku!